Hak Atas Kota

ANALISA POLITIK
Muhammad Ridha
Peneliti di Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA) dan anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja


APA YANG hilang dari kehidupan kita sebagai warga kota? Sebelum menjawab langsung pertanyaan ini,  ada baiknya kita merefleksikan kembali apa yang kita maksud dengan kehidupan di kota itu sendiri. Ide saya di sini sangat sederhana; kehidupan di kota adalah aktivitas keseharian di kota itu sendiri.

Jika kita memeriksa lagi aktivitas keseharian ini, akan banyak sekali hal-hal yang seolah di luar kendali kita sebagai, katakanlah, warga kota. Kota Jakarta, misalnya,  kota dimana saya beraktivitas di dalamnya, mengalami kondisi “penyakit perkotaan akut” yang seakan-akan tidak terselesaikan. Kemacetan, banjir, minimnya penghijauan, masalah perumahan layak, kriminalitas, dan banyak lagi gejala-gejala patologis yang melingkupinya, yang sulit disebut  satu persatu.

Namun, keseluruhan permasalahan ini bukan berarti tanpa respon. Ambil contoh masalah  kemacetan  kota Jakarta. Sebagaimana klaim Pemerintah daerah DKI Jakarta, semua daya upaya telah dilakukan oleh otoritas kota untuk mengatasi kemacetan. Dari kebijakan three in one pada jam-jam sibuk, penggunaan jalur kiri oleh pengendara roda dua, penerapan jalur khusus bus transjakarta, bahkan hingga yang paling absurd, seperti keharusan pengendara motor roda dua untuk menyalakan lampu di siang hari.

Sayangnya, walau harus diapresiasi, segala respon dan upaya ini tidak berbuah pada hasil yang diinginkan. Kota Jakarta masih tenggelam dalam kemacetan yang parah. Tidak heran ketika implikasi dari hasil tindakan  tidak sesuai harapan, muncul  kesadaran bahwa kondisi perkotaan adalah sesuatu yang terberi, “udah dari sononye”, sehingga, kita, warga kota tidak lagi berdaya menghadapinya.  Dan simpulan dari kesadaran ini adalah sesuatu yang sangat mengerikan, sebab kehidupan perkotaan pada dasarnya adalah hasil dari relasi sosial, ekonomi, bahkan politik dari warga kota. Jika jalan buntu  ini diamini, konsekuensinya warga kota Jakarta menjadi terasing dari dirinya sendiri. Sebuah kondisi warga kota yang tanpa jiwa, tanpa substansi.

Paradoks Kekuasaan Perkotaan

Kondisi alienatif perkotaan, katakanlah secara hipotetis, berbenturan dengan bentuk relasi ekonomi politik perkotaan lainnya, dimana kota sebagai suatu tatanan ruang bisa dipengaruhi oleh agensi tertentu. Sebagai contoh,  jika kita memeriksa pembangunan property di Jakarta, khususnya pembangunan mall, kita akan dibuat terkejut.  Sampai dengan tahun 2010, Jakarta memiliki telah 130 mall, sebuah angka  yang melambungkan  Jakarta sebagai kota dengan jumlah mall terbanyak di dunia. Fakta ini kemudian bersinggungan dengan fakta bahwa hanya ada empat taman kota yang dibangun di Jakarta (Waspada, 2009). Selain itu, jika kita memeriksa lagi angka pergerakan warga kota, ternyata angka perjalanan di kota ini  mencapai 20 juta per hari. Angka itu disumbang oleh kendaraan pribadi yang ditaksir mencapai 2.115.786 unit roda empat, sepeda motor yang berjumlah 7.516.556 unit dan 859.692 armada angkutan umum. Perputaran alias pertumbuhan juga tampak jelas bila kita membandingkan data tahun 2009 di atas dengan tahun sebelumnya, dimana jumlah sepeda motor sebanyak 6.765.723 unit, angkutan umum 847.259 unit dan kendaraan pribadi sebanyak 2.034.943 unit. Proporsi antara kendaraan pribadi dan angkutan umum sangat jomplang, dimana hanya ada 2 persen kendaraan umum yang harus mengangkut 50,3 persen penumpang dari total 17 juta orang yang melakukan perjalanan setiap hari (Irwansyah, 2010).

Benturan di antara fakta-fakta yang sangat kontras ini setidaknya melahirkan dua kesimpulan pandangan, yakni yang optimis dan  yang pesimis. Yang optimis melihat  bahwasannya kondisi perkotaan bukan sesuatu yang di luar jangkauan kita. Ia adalah ruang publik yang masih bisa dipengaruhi oleh relasi kuasa tertentu. Sementara kesimpulan yang pesimis melihat kondisi ini sebagai suatu situasi dimana politik perkotaan pada dasarnya selalu dimonopoli oleh para pemilik modal dalam rangka aktivitas maksimalisasi keuntungan.

Menurut David Harvey (1973), seorang teoritisi geografi perkotaan, kondisi yang kontradiktif dalam perkotaan ini pada dasarnya merupakan bagian dari gerak internal dalam kapitalisme itu sendiri. Dorongan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, melalui produksi surplus modal, mengonstruksikan rezim politik perkotaan tertentu yang bekerja dalam logika ini. Gerak modal ini selalu mencoba untuk mengeliminasi bagian-bagian sistem perkotaan yang tidak menguntungkan dan secara simultan mendorong secara massif bagian-bagian yang dianggap menguntungkan bagi gerak keseluruhan kapitalisme itu sendiri. Dalam teori ini, maka pembacaan atas fakta-fakta yang saling berbenturan, seperti terjadinya proses pengahancuran barang-barang publik  dengan pembangunan massif atas barang-barang swasta bukanlah sesuatu yang tidak terencana dan tanpa kalkulasi. Disini, pada akhirnya, keberadaan 130 mall yang berdampingan dengan hanya 4 taman kota adalah konsekuensi logis dari gerak modal yang selalu berupaya untuk mencari keuntungan. Selain itu, ketimpangan angka kendaraan pribadi yang lebih besar dibanding transportasi umum, adalah penanda dari paradoks kekuasaan yang melingkupi Jakarta.

Untuk Hak Atas Kota

Kembali ke pertanyaan awal yang saya ajukan,  apa yang hilang dari kehidupan kita sebagai warga kota? Saya menjawabnya,  yang hilang adalah hak atas kota. Hak kita sebagai warga kota hilang ketika kita, warga kota, yang publik dari kota, kehilangan kendali atas kota yang kita tinggali sekarang. Untuk itu, saya berpendapat, kita yang kini mendiami kota, Jakarta khususnya, tidak dapat dikategorikan sebagai warga kota. Lebih tepat disebut sebagai penghuni kota.

Hak atas kota mengandaikan bahwa logika urban tidak dapat lagi hanya disandarkan pada logika pertumbuhan atau maksimalisasi profit. Dalam pandangan David Harvey (2008), hak atas kota adalah, “bukan hanya sebagai kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan, akan tetapi lebih dari itu, hak atas perkotaan adalah hak untuk mengubah diri kita melalui mengubah kota itu sendiri”. Harvey menegaskan bahwa proses ini adalah sebuah proses yang melibatkan aksi kekuasaan kolektif untuk mendorong proses perkotaan yang demokratis.

Konkretnya, logika pengerukan keuntungan akan kehilangan rasionalitasnya jika  kita  melihat kehidupan di perkotaan sebagai  sebuah aktivitas bersama yang tidak dapat dikerdilkan dalam relasi pencarian keuntungan semata. Kehidupan perkotaan harus dilihat secara lebih besar dan luas. Para pemilik modal hanyalah salah satu bagian dari konfigurasi kekuasaan perkotaan. Sementara warga kota harus semakin sadar akan haknya atas kota. Hanya dengan menegaskan kembali kepemilikan kota di bawah kendali warga kota, maka  kehidupan kota yang manusiawi bisa terwujud.***


Kepustakaan:

David Harvey, "Social Justice and The City," New York: Routledge, 1973

------------, "The Right to the City," New Left Review 2008

Irwansyah, "Jakarta sebagai Milik Bersama," diunduh dari http://indoprogress.blogspot.com/2010/06/jakarta-sebagai-milik-bersama.html

“Jumlah Mall di Jakarta Terbanyak di Dunia,” diunduh dari http://www.waspada.co.id/index.phpaoption=com_content&view=article&id=47294:jumlah-mal-di-jakarta-terbanyak-di-dunia&catid=17&Itemid=30