Ateis, Siapa Takut!

Tambahan untuk Justinus Prastowo
Wilson
Sejarahwan-cum aktivis. Buku terbarunya,
“A Luta Continua! Politik Radikal di Indonesia dan Pergerakan Pembebasan Timor Leste”.

Artikel Justinus Prastowo, Teori Sekularisasi di Pusaran Sungai Waktu, menarik didiskusikan lebih lanjut. Saya berpendapat, adalah penting untuk membicarakan bukan hanya hubungan antara negara dan agama atau hubungan antar agama, tapi juga hubungan antara mereka yang tidak beragama dengan negara dan hubungan antara yang beragama dan tidak beragama.

Saya memperoleh kesan bahwa perbincangan seputar hubungan antara sekularisme dan negara, hanya terbatas di kalangan orang beragama saja, dengan orientasi politik kenegaraan yang berbeda. Yakni antara mereka yang percaya bahwa “negara harus terpisah dari agama” versus mereka yang menyakini bahwa “negara harus mengadopsi ajaran-ajaran agama ke dalam sistem hukum dan politik kenegaraan.”

Demikian pula percakapan soal pluralisme, toleransi, dan demokrasi, hanya berkutat di lingkaran orang-orang beragama saja. Tidak pernah terdengar bagamana mereka mendiskusikan hubungan antara orang beragama dan tidak beragama: adakah toleransi kepada mereka yang tidak beragama? Adakah hak hidup buat mereka?

Pengalaman Inggris

Saya hendak melanjutkan diskusi yang telah dimulai dengan baik oleh Justinus Prastowo tersebut. Di sini saya ingin mendiskusikan soal hubungan antara orang beragama dan tidak beragama. Saya mulai dengan kutipan berikut: “Saya pikir, mempelajari ateisme akan membawa lebih banyak toleransi bagi dunia ini”, tulis seseorang dalam situs BBC. Sementara lainnya menulis “Terdapat filosofi dibalik sikap atesime, dan filosofi itu haruslah terwakili”. Kedua pandangan ini adalah contoh dari puluhan pendapat dalam polemik tentang perlu atau tidak ateisme diajarkan di sekolah yang dimuat dalam situs BBC, Januari 2004.

Polemik berawal dari usulan Institute for Public Policy Research (IPPR), sebuah lembaga kajian yang dekat dengan Partai Buruh dan British Humanist Association (BHA), agar pemerintah melakukan reformasi atas Pengajaran Keagamaan di Inggris dengan memberikan pengajaran yang sama bagi pemikiran atheisme, agnostic dan humanisme dalam kurikulum pendidikan. Bahkan pengajaran keagamaan juga diusulkan diganti namanya menjadi “pendidikan agama, filsafat dan moral”.

Usulan ini bukanlah sekedar hasil sebuah kajian yang tidak ilmiah dan obyektif dari sekelompok orang di lembaga kajian, atau dengan tujuan untuk menentang pendidikan agama. Tapi merupakan pencerminan dari “mayoritas” masyarakat Inggris, khususnya di lingkungan generasi muda, yang telah mengalami perubahan orientasi dan cara pandang atas agama itu sendiri. Anehnya, perubahan sosial tersebut tidak tercermin dalam pengajaran agama di Inggris.

BHA dan IPPR yang menjadi pengusung gagasan reformasi pengajaran agama, melihat legitimasi moral dan sosial bagi pengajaran agama sudah harus digugat dan dipertanyakan kembali dengan fakta-fakta sosial budaya kontemporer. Hancurnya legitimasi agama di tengah masyarakat Inggris, memang bukan isapan jempol. Berdasarkan survai yang dilakukan Professor Leslie Francis dan Dr William Kay dari Trinity College, ditemukan fakta bahwa dari 13.000 remaja berusia antara 13-15 tahun, 61 persen di antaranya menyatakan secara terbuka sebagai ateis atau tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Bahkan dari jumlah tersebut, sekitar 19 persen menyatakan tidak percaya sama sekali bahwa Yesus Kristus dalah anak dari Tuhan.

Presentase yang tinggi tersebut tentu saja juga merupakan pencerminan dari perubahan cara pandang masyarakat Inggris keseluruhan dalam menilai intitusi keagamaan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Michael Hand dari Institute of Education, presentasi orang dewasa dalam kegiatan dan aktivitas keagamaan di gereja, mesjid, sinagoge dan kuil terus menurun sepanjang dua dasawarsa terakhir. Pada tahun 1980, masih terdapat 19 persen orang orang dewasa yang terlibat dalam kegiatan keagamaan. Jumlahnya menurun menjadi 17, 5 persen di tahun 1996. Penururan tajam terjadi dalam survai tahun 1999, dimana hanya 7 persen orang Inggris yang menghadiri atau mengkikuti pelayanan keagamaan.

Perubahan masyarakat tersebut tampaknya terlambat diikuti dalam pengajaran agama. Sehingga terdapat “kelompok diam” di dalam kelas-kelas yang dengan terpaksa harus menerima pengajaran agama secara tradisionil. BHA yang secara khusus memang peduli pada reformasi pengajaran agama memandang perlunya sebuah pengajaran agama yang imparsial, seimbang dan adil serta merefleksikan keadaan dari masyarakat dalam konteks menciptakan suatu tatanan masyarakat multikulturalisme yang kuat. Dengan cara itu setiap murid dapat lebih secara fundamental memahami kehidupan dan dapat memahami mengapa ada orang yang beragama dan orang yang tidak beragama.

Proses perumusan reformasi atau kurikulum pendidikan agama dilakukan dalam sebuah konferensi pada 20 Januari 2004. Bertindak sebagai tuan rumah adalah The Institute for Public Policy Research (IPPR), dimana tema konferensi itu untuk mempertanyakan kembali arah dari Pengajaran Keagamaan di dunia pendidikan. Peserta yang hadir mewakili berbagai lembaga keagamaan, ahli dan praktisi pendidikan, kaum intelektuil dan berbagai lembaga kajian yang peduli pada persolan di atas. Konferensi tersebut menunjukkan suatu fakta baru yang harus bisa diterima bahwa legitimasi moral dan sosial pengajaraan keagaman sudah tidak relevan terhadap perkembangan situasi sekarang ini. Karena itu konferensi mengambil empat kesimpulan penting yang menuntut suatu reformasi dalam sitem pengajaran keagamaan secara keseluruhan.

Kesimpulan krusial, yang kemudian paling ramai diperdebatkan adalah pernyataan bahwa pengajaran Keagamaan tidak boleh secara sempit terfokus pada agama, tapi memperluas cakupannya dengan memasukkan sistem keyakinan non-agama, termasuk di dalamnya ateisme, agnotisisme dan humanisme. Kesimpulan pertama dari konfrensi ini yang tampaknya kemudian diangkat oleh BBC sebagai sesuatu yang “sensasional”.

Padahal kesimpulan secara umum dari perserta konferensi tidaklah bisa dianggap radikal, tapi cenderung mencari “jalan tengah” untuk mengadopsi perubahan sosial dan orientasi yang terjadi di tengah masyarakat atas agama, tapi juga tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang tidak penting. Hal ini jelas nampak dari kalimat pertama yang menjadi pengantar kesimpulan konfrensi, “Meskipun Inggris mempunyai masyarakat keagamaan yang semakin kecil dibandingkan sebelumnya, agama masih menjadi kekuatan yang sangat penting dalam kehidupan kita.”

Namun polemik yang berkembang terlanjur menimbulkan kesalahpahaman, seolah-olah para murid akan dijadikan anti agama atau menjadi atheis. Bahkan seorang Uskup Anglikan sempat melontarkan tuduhan bahwa kelompok BHA sama dengan kaum “diktator Stalinis” dalam sebuah wawancara di radio. Pernyatan ini lalu diprotes dan diminta klarifikasi oleh BHA, sebab pernyataan tersebut dianggap tidak berdasar. Akhirnya Uskup menyampaikan permintaan maafnya dan menyatakan bahwa ia telah keliru menyamakan antara Stalinisme dengan humanisme, bahkan dia menunjukan rasa respeknya kepada “etika humanisme”.

Humanisme dalam definisi BHA adalah sebuah keyakinan bahwa manusia dapat hidup lebih baik tanpa agama, tapi berdasarkan etika, akal, pengalaman, nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang dinyatakan dalam hak asasi manusia dan kesetaraan

Menurut Marlyn Manson dari BHA, pelajaran tentang ateisme disampaikan terintegrasi dengan pelajaran agama, bukan untuk menggantikan pelajaran agama. Dengan cara itu “anak-anak dapat belajar bahwa juga terdapat orang –orang yang tidak percaya pada Tuhan, kehidupan sesudah kematian, kekuatan dari doa, tapi orang-orang yang percaya hidup dan tingkah laku yang baik dapat didasari pada akal sehat dan pengalaman dan berbagai latar belakang yang menyebabkan pemikiran ateisme ini lahir. “

Nasib dari usulan IPPR ini memang akan diputuskan dalam suatu proses politik di parlemen. Bila melihat dominasi partai buruh di parlemen, besar kemungkinan tuntutan reformasi ini lolos sebab sangat sejalan dengan penguatan multikuluralisme dan alam demokrasi. Sebab sekularisme dalam sistem demorkasi, bukan hanya berarti tidak melanggar kebebasan orang untuk beragama, tapi juga harus dapat menjamin kebebasan orang untuk tidak beragama.

Bagaimana dengan Indonesia?

Ketika di Inggris pengajaran agama mulai mendapatkan kritikan karena semakin jauh relevansinya degan kenyataan sosial di tengah masyarakat, tidak demikiandi Indonesia. Di negeri nyiur melambai ini, ikatan antara agama dengan manusia, mirip ungkapan pemimpin revolusi Cina Mao Zedong, “seperti air dan ikan”. Sangat sulit menyapihnya, kecuali terjadi suatu perubahan sosial yang revolusioner atau terjadi “interprestasi baru yang lebih pluralis” atas ajaran dan institusi keagamaan itu sendiri.

Tentu saja konteks dari masyarakat kapitalis maju di Inggris yang semakin rasional dan teknokratis melahirkan pergeseran-pergeseran radikal dalam melihat lembaga keagamaan. Konteks ini yang tidak bisa dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, dimana nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai keagamaan masih terinternalisasi secara dalam di kesadaran dan realitas sosial-budaya masyarakat. Bila usulan seperti di Inggris dilakukan di Indonesia, tampaknya lembaga penganjur, bukan cuma akan dihujat, bisa jadi akan dikeluakan fatwa “halal darahnya” oleh berbagai organisasi agama.

Dalam kasus Inggris, perdebatan soal reformasi pengajaran agama ditempatkan dalam konteks “pembangunan masyarakat multikulturalis” yang sejalan dengan prinsip-prinsip budaya demokrasi yang sudah mapan. Sementara dalam konteks Indonesia, yang juga negara sekuler, tampaknya masih terdapat persoalan mendasar dalam hal hubungan “kebebasan beragama” dengan “kebebasan individual”. Problem seperti di Inggris, kalau diletakkan di Indonesia, pastilah akan menjadi “perdebatan teologis”, dimana ayat dan fatwa akan dikeluarkan untuk menentangnya, bukan dalam konteks pembangunan multikulturalisme dan penguatan demokrasi itu sendiri. Kebebasan individual yan merupakan prinsip dari demokrasi di Indoensia akan berhadapan dengan nilai-nilai, budaya dan institusi agama dominan bila “dianggap” menganggu kemapanan mereka.

Jangankan kebebasan untuk “tidak beagama”, bahkan kebebasan untuk melakukan “interprestasi” atas pemahaman agama dominan masih belum dapat diterima disini. Kasus Ulil dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) membuktikan, dimana “interprestasi yang berbeda” pun dapat menjadikan seorang muslim diangap sebagai “musuh” bagi sekelompok muslim yang lain.

Apa yang terjadi di Ingris hanya bisa terjadi bila institusi dan sistem demokrasi telah diterima secara luas, baik oleh masyarakat maupun dalam sistem ketatanegaraan. Karena itu perdebatan ateisme di inggris bukanlah “debat teologis” tapi perdebatan tentang hak-hak warganegara, dimana kaum ateis yang jumlahnya besar, harus diserap dan diwakili oleh sistem yang ada. Sementara terhadap kelompok yang beragama, pendukung ateisme tidak menganggapnya sebagai musuh, bahkan kelompok ateis siap menentang negara bila melakukan kebijakan yang anti atau diskriminatif atas agama tertentu. Hal ini yang dibuktikan di Inggris, ketika kaum ateis berdemonstrasi menolak pemberlakuan UU sekularisme yang diskriminatif di Perancis. Sebab sekulerisme bagi kaum ateis, tidak boleh menindas kebebasan agama sebagai hak asasi mendasar.***


Dalam versi yang sedikit berbeda, artikel ini pernah dimuat di majalah Syi’rah, N0 29/IV/April/2004.